Gundul’s Journal

"tentang tempat yang di datangi dan pikiran yang dititipkan"

Story and Footstep Bab 1 – Labuan Bajo

Beberapa waktu setelah kepergian Ibunda tercinta (semoga beliau tenang di sisi-Nya), atasan saya tiba-tiba menawarkan ke tim: “Ada yang mau ke Labuan Bajo buat closing project?” Tanpa pikir panjang, saya langsung angkat tangan tinggi-tinggi, mirip murid paling ambis di kelas. “Saya aja, Mas!” jawab saya semangat. Dan siapa sangka, keberanian dadakan itu malah membawa saya melangkah ke Pulau Padar yang luar biasa mempesona, satu tempat yang biasanya cuma bisa saya lihat di instagram teman saya yang hedon.

Day 1, 26 Juli 2023

Kehilangan, Langit Flores, dan Kapal Bajak Laut

Pagi itu, saya mendarat mulus di bandara Komodo (IATA: LBJ). Begitu keluar dari pesawat, angin hangat khas Flores langsung menyambut, seperti pelukan dari semesta yang bilang, “Tenang, kamu di tempat yang tepat”. Langit biru cerah menyapaku dengan ramah, beda banget sama langit Jakarta yang kadang warnanya gradasi antara galau dan polusi. Tanpa menunggu lama, saya langsung capcus ke dermaga, titik awal dimana petualangan Live on Board alias LoB selama 3 hari 2 malam di kapal phinisi Leticia akan dimulai.

Dari kejauhan, Leticia terlihat mempesona dan mirip seperti kapal bajak laut versi instagramable. Saya sempat curiga jangan-jangan kapal ini punya lebih banyak followers di Instagram dibandingkan saya.

Kapal Leticia

Destinasi pertama? Pulau Kelor. Trekking singkat buat pemanasan, yang jujur aja, bikin ngos-ngosan tapi puas. Setelah trekking di Pulau Kelor, saya kembali ke kapal untuk istirahat sejenak. Baru juga duduk manis sambil ngadem ngerasain semilir angin laut, kapten kapal mengumumkan tujuan selanjutnya: Loh Buaya di Pulau Rinca. Tempat nongkrongnya para komodo, si kadal prasejarah yang terkenal galak, cuek, dan… punya rahasia biologis yang nggak banyak orang tahu.

Sesampainya di Loh Buaya, kami disambut ranger lokal yang sudah siap jadi pemandu sekaligus bodyguard. Ini bukan taman safari biasa karena komodo di sini bebas berkeliaran. Kalau lagi sial, kamu bisa disambut dari balik semak-semak sama reptil seukuran motor supra batok geter punya bapak.

Kami berjalan menyusuri jalur kayu sambil mendengarkan cerita dari ranger. Suasana cukup tegang tapi seru, apalagi ketika akhirnya bertemu langsung dengan komodo. Dia lagi rebahan santai, gaya-gaya sok cool seperti model majalah pria. Tapi jangan tertipu, katanya satu gigitan aja bisa bikin kamu demam yang nggak bisa sembuh dengan tolak angin.

Lalu datanglah bagian paling mengejutkan dari tur ini: “Komodo jantan itu punya dua penis,” kata si ranger dengan nada santai. Semua langsung terdiam. Saya yang lagi nyeruput air mineral pun nyaris tersedak. Dua?!

“Iya, namanya hemipenis,” lanjutnya sambil nyengir. “Tapi cuma dipakai satu per waktu, tergantung posisi.”

Luar biasa. Di saat manusia masih ribet ngatur jadwal kerja shift-shift-an, komodo sudah punya sistem internal buat gonta-ganti alat tempur. Teknologi alam memang tak tertandingi.

Setelah cukup foto-foto dan puas dengan pelajaran biologi darurat tadi, kami kembali ke kapal. Hari mulai gelap, langit berubah jingga, dan laut jadi cermin raksasa yang memantulkan cahaya matahari sore. Makan malam pun disajikan. Dan kali ini saya makan sambil merenung: ternyata hari ini saya belajar banyak. Tentang keindahan alam dan fakta mengejutkan soal komodo yang tidak akan saya lupakan seumur hidup.

Day 2, 27 Juli 2023

Padar, pagi buta, dan rasa malas yang (akhirnya) berbuah keindahan

Rasanya baru saja memejamkan mata. Masih segar di kepala momen menatap langit malam dari dek kapal semalam, dan sekarang, diiringi suara pelan ketukan di kabin, saya digiring bangun dari mimpi oleh kru kapal. “Bangun Mas, kita ke Padar.”

Saya menoleh ke jendela kecil kabin, gelap. Masih dini hari.
Jujur, tidak ada semangat membara pagi itu. Hanya tubuh yang bergerak autopilot: bangun, duduk, cuci muka, lalu berjalan ke dek dengan langkah malas. Angin pagi menyambut dingin, seperti memberi kode: “Kalau nggak kuat, balik tidur aja.”

Tapi perjalanan tetap berlanjut. Saya, bersama beberapa kawan lain yang juga setengah sadar, turun satu per satu ke sekoci kecil yang bergoyang pelan di samping kapal. Angin laut menggigit, tapi suara mesin sekoci yang meraung pelan justru terasa menenangkan bagai lullaby yang salah waktu.

Setibanya di dermaga Pulau Padar, kami disambut oleh petugas yang langsung mengarahkan ke pos registrasi. Ah iya, formalitas kecil sebelum naik: isi buku tamu, cek tiket, dan yang agak unik adalah registrasi drone. Rupanya untuk nerbangin drone di sini, harus minta izin resmi.

Setelah urusan administratif selesai, mulailah kaki menapaki tanah Padar. Jalanan menanjak sudah menanti, berpadu aroma tanah lembab dan semak yang menggeliat pelan tertiup angin subuh. Trekkingnya sendir cukup bikin sadar total. Keringat mulai bercucuran, nafas ngos-ngosan, tapi setiap langkah membawa kami semakin dekat dengan janji pemandangan yang katanya “tak terlupakan”.

Dan benar saja. Saat kami mencapai salah satu puncak terbaiknya, langit timur mulai membara perlahan. Matahari muncul malu-malu, membelah siluet bukit-bukit ikonik Padar yang berjajar seperti lengan dewa sedang beristirahat. Laut di sekitarnya tenang, berkilau keemasan, sementara kapal-kapal kecil di kejauhan tampak seperti titik-titik perhiasan di atas permadani.

Saya terdiam cukup lama di sana. Mengabadikan momen, bukan hanya lewat lensa kamera, tapi juga dalam kepala, karena beberapa pemandangan memang lebih indah disimpan sebagai kenangan, bukan file.

Pagi buta yang awalnya penuh rasa malas ternyata menghadiahi saya salah satu sunrise terbaik dalam hidup. Terima kasih, Padar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *