Beberapa waktu setelah kepergian Ibunda tercinta (semoga beliau tenang di sisi-Nya), atasan saya tiba-tiba menawarkan ke tim: “Ada yang mau ke Labuan Bajo buat closing project?” Tanpa pikir panjang, saya langsung angkat tangan tinggi-tinggi, mirip murid paling ambis di kelas. “Saya aja, Mas!” jawab saya semangat. Dan siapa sangka, keberanian dadakan itu malah membawa saya melangkah ke Pulau Padar yang luar biasa mempesona, satu tempat yang biasanya cuma bisa saya lihat di instagram teman saya yang hedon.
Day 1
Mendarat di bandara Komodo (IATA: LBJ)
Walaupun masih pagi, hangatnya pulau Flores seketika menyambut saya layaknya ucapan selamat datang yang dibisikkan di telinga. Sejauh mata memandang, langit yang begitu biru seperti menyadarkan saya yang sehari hari hanya melihat langit kelabu di ibu kota dan sekitarnya tentang warna langit sesungguhnya. Keluar dari bandara, saya langsung menuju ke dermaga yang akan menjadi titik awal perjalanan LoB atau Live on Board di kapal Leticia selama 3 hari 2 malam. Dari kejauhan, kapal phinisi Leticia terlihat begitu cantik.
Pagi itu, saya mendarat mulus di Bandara Komodo. Begitu keluar dari pesawat, angin hangat khas Flores langsung menyambut, seperti pelukan dari semesta yang bilang, “Tenang, kamu di tempat yang tepat”. Langit biru cerah menyapaku dengan ramah, beda banget sama langit Jakarta yang kadang warnanya gradasi antara galau dan polusi. Tanpa menunggu lama, saya langsung capcus ke dermaga, titik awal dimana petualangan Live on Board alias LoB selama 3 hari 2 malam di kapal phinisi Leticia akan dimulai.
Dari kejauhan, Leticia terlihat mempesona dan mirip seperti kapal bajak laut versi instagramable. Saya sempat curiga jangan-jangan kapal ini punya lebih banyak followers di Instagram dibandingkan saya.

Destinasi pertama? Pulau Kelor. Trekking singkat buat pemanasan, yang jujur aja, bikin ngos-ngosan tapi puas. Setelah trekking di Pulau Kelor, saya kembali ke kapal Leticia untuk istirahat sejenak. Baru juga duduk manis sambil ngadem ngerasain semilir angin laut, kapten kapal mengumumkan tujuan selanjutnya: Loh Buaya di Pulau Rinca. Tempat nongkrongnya para komodo, si kadal prasejarah yang terkenal galak, cuek, dan… punya rahasia biologis yang nggak banyak orang tahu.
Sesampainya di Loh Buaya, kami disambut ranger lokal yang sudah siap jadi pemandu sekaligus bodyguard. Karena ya, ini bukan taman safari biasa karena komodo di sini bebas berkeliaran. Kalau lagi sial, kamu bisa disambut dari balik semak-semak sama reptil seukuran motor supra batok geter punya bapak.
Kami berjalan menyusuri jalur kayu sambil mendengarkan cerita dari ranger. Suasana cukup tegang tapi seru, apalagi ketika akhirnya bertemu langsung dengan komodo. Dia lagi rebahan santai, gaya-gaya sok cool seperti model majalah pria. Tapi jangan tertipu, katanya satu gigitan aja bisa bikin kamu demam yang nggak bisa sembuh dengan tolak angin.
Lalu datanglah bagian paling mengejutkan dari tur ini: “Komodo jantan itu punya dua penis,” kata si ranger dengan nada santai. Semua langsung terdiam. Saya yang lagi nyeruput air mineral pun nyaris tersedak. Dua?!
“Iya, namanya hemipenis,” lanjutnya sambil nyengir. “Tapi cuma dipakai satu per waktu, tergantung posisi.”
Luar biasa. Di saat manusia masih ribet ngatur jadwal kerja shift-shift-an, komodo sudah punya sistem internal buat gonta-ganti alat tempur. Teknologi alam memang tak tertandingi.
Setelah cukup foto-foto dan puas dengan pelajaran biologi darurat tadi, kami kembali ke kapal Leticia. Hari mulai gelap, langit berubah jingga, dan laut jadi cermin raksasa yang memantulkan cahaya matahari sore. Makan malam pun disajikan. Dan kali ini saya makan sambil merenung: ternyata hari ini saya belajar banyak. Tentang keindahan alam dan fakta mengejutkan soal komodo yang tidak akan saya lupakan seumur hidup.